Bersama Prelo – Tampil Gaya gak Pakai Mahal


Fakta Menarik Ketika Berjualan Baju Bekas

Sudah dua tahun ini saya menjalankan bisnis online terutama penjualan peralatan dapur dan rumah tangga lainnya. Berdasarkan pengalaman, frekwensi perdagangan akan meningkat memasuki bulan Ramadhan. Makanya saya semangat banget dalam mencermati dan mempersiapkan item demi item barang yang sekiranya akan hits selama Ramadhan. Namun malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih, tepat di hari pertama Ramadhan lalu, saya malah muntah- muntah hingga lima kali. Badan lemas, puasapun jadi batal. Hari demi hari terbaring lemas hingga akhirnya berobat ke dokter. Pemeriksaan laboratorium secara menyeluruh menunjukkan bahwa saya menderita komplikasi beberapa penyakit.  Memang penyakit diabetes itu seperti bola bowling yang meluncur pada sepuluh pin yang tegak berjejer,  lantas menjatuhkan beberapa bahkan seluruh pin. Jadilah selain menderita diabetes, saya juga terkena hipertensi, kolesterol dan asam urat.

Begitulah, tidak ada hal lain yang dapat dilakukan selain berobat dan beristirahat. Pengobatan yang menelan biaya cukup banyak, membuat kocek harus dirogoh hingga ke dasar. Tetap tegar dan tegakkan kepala, pengeluaran ini keharusan yang tidak boleh ditangisi karena taruhannya adalah nyawa. Biarpun kedengarannya epik banget tapi ini kenyataan. Berapa banyak nyawa sudah melayang saat diabetes menyerang  ginjal, pembuluh darah hingga otak mengalami pendarahan dan berakibat stroke, demikian juga berapa kaki yang teramputasi karena aliran darah terhambat ke kaki.

lemari

Berusaha tidak cemas pada pengeluaran yang deras (ntar malah memicu tekanan darah), saya berusaha mencari cara mengisi kocek tanpa harus beranjak dari rumah. Dan tampaknya cara yang termudah adalah menjual isi lemari secara online. Mengamati koleksi yang ada jadi tersadar bahwa selama ini saya tumbuh sebagai perempuan yang demen shopping. Bayangkan ada dua  buah lemari tiga pintu di kamar tidur saya ditambah satu lemari tiga pintu di kamar si embak, yang sarat dengan pakaian serta tas. Padahal tahun depan kami berencana akan pindah rumah. Jadilah misi menjual isi almari ini sebagai misi mengisi kocek dan meminimalisasi bawaan saat akan pindah kelak. Helai demi helai baju dipotret dan menguploadnya pada sebuah grup jual-beli barang bekas di suatu sosial media. Saya ingat banget saat itu tanggal 18 Juni 2017 di hari Minggu, tepat pk 10.00 pagi saya mulai mengupload 31 foto baju di grup itu. Pk. 03.00 siang tak ada response, great….orang-orang sudah siap-siap mudik, saya malah gelar dagangan baju.

“Siapa yang mau beli?”, demikian batin saya bertanya sendiri.

Hingga pk. 09.00 malam tidak ada response, saya berusaha berdamai dengan diri sendiri. Pk. 03.00 pagi saat terbangun dan bersiap untuk sahur, saya sempatkan untuk menyalakan HP dan oh Tuhan terjadilah kehendakMu…..chatt demi chatt masuk menanyakan barang dagangan. Sembari sahur membalas chat berlanjut hingga memasuki Imsak, jeda sejenak untuk sholat Subuh dan berlanjut dengan menerima pembayaran demi pembayaran yang dilakukan para customer, tuntas saat memasuki pk. 08.00 pagi. Tiga puluh satu baju second yang diupload ludes. Semua memakai e-banking, semua minta ekspedisi YES yang cepat karena semua ingin memakai baju baru saat Lebaran tiba, apalagi banyak jasa ekspedisi mengikuti masa libur PNS sejak tanggal 23 Juni. Demikianlah pk. 10.00 pagi saya sudah meluncur ke ekspedisi di bawah terik matahari yang mencapai 39 derajat Celcius.

Biarpun kepala masih kliyengan namun membayangkan duit yang masuk membuat saya tidak keberatan keluar rumah, kan bisa naik taksi online. Usai dari ekspedisi langsung ke bank yang untungnya terletak di sebelah kantor ekspedisi. Moment of truth tiba saat membaca print out buku tabungan, melihat deretan dana yang terkredit, saya merasa emejing banget. Ini transaksi sehari? Malah lebih tinggi dari penjualan panci per hari. Sembari beristirahat di lobby bank, saya mencermati situasi yang saya hadapi. Pembeli-pembeli kali ini memiliki profesi terhormat, terlihat dari alamat kantornya, maupun alamat rumahnya yang umumnya berlokasi di kawasan menengah tapi mereka tidak keberatan memakai baju bekas saat Lebaran. Apakah karena situasi yang dikabarkan media massa baik cetak maupun online bahwa daya beli masyarakat menurun? Yang membuat mall-mall sepi?

Masyarakat Kelas Menengah yang Berhemat

Di lain pihak dengan profile pembeli yang kelas menengah ini, saya malah jadi berpikir, jika memang mereka tidak punya uang tentunya tiap orang tidak akan ambil dua baju atau lebih dan  tak secepat itu mereka transfer.  Saya yakin yang terjadi adalah masyarakat saat ini sudah pandai membuat skala prioritas dalam pembelanjaannya. Situasi perekonomian yang tidak menentu membuat mereka menahan diri dalam melakukan pengeluaran besar. Lebaran tetap berbaju baru walaupun memakai baju bekas. Apalagi baju yang  saya jual masih dalam keadaan Very  Good Condition, beberapa ada yang masih baru dan dibeli karena lapar mata saja. Pengamatan saya ini ternyata selaras dengan data Bank Indonesia (BI)  yang mencatat tabungan nasabah naik Rp 60,4 triliun sepanjang Juni 2017. Kenaikan tersebut diduga lantaran minat konsumen untuk berbelanja menurun. Penyebabnya, keyakinan konsumen terhadap kondisi perekonomian ke depan tak setinggi sebelumnya.

Memang Ekonom dari Universitas Indonesia (UI) Lana Soelistyaningsing memperhitungkan, dari total kenaikan tabungan sebesar Rp 60,4 triliun, yang kemungkinan besar merupakan dana segar dari masyarakat (fresh money) adalah sebesar Rp 13 triliun. Sedangkan sisanya bisa jadi merupakan perpindahan dari giro dan deposito sebesar Rp 25,5 triliun, serta simpanan pemerintah yang tercatat naik Rp 21,9 triliun.

Jika memang masyarakat sedang menahan diri untuk pengeluaran besar dan konsumtif maka bisa dipastikan bahwa pasar bagi barang bekas akan terbuka lebar. Saat ini prinsipnya jika ada yang murah berkualitas ngapain beli yang mahal?

Sayapun mulai berhitung untuk mulai membuka pasar OS baju bekas. Kendalanya persediaan saya tentunya terbatas, jadi saya harus mencari barang bekas di tempat-tempat lain. Masalahnya di grup sosial media yang saya ikuti sedang banyak hingar-bingar penipuan. Barang dibilang bagus, ternyata gak lebih baik dari kain pel. Bilangnya jualan namun setelah terima uang malah menghilang dan memblokir pembeli. Penyelesaian dari kasus penipuan bisa dibilang tidak memuaskan. Hal-hal demikian membuat kita harus ekstra hati-hati dalam memilih penjual.

Mulai Berkenalan dengan Prelo

Sampai suatu hari, seorang teman di sosial media membuat testimoni akan puasnya menggelar lapak di Prelo. Teman saya ini memang shopalcoholic barang branded jadi koleksinya cukup banyak. Testimoninya mengatakan bahwa menggelar barangnya yang branded di Prelo ternyata cepat laku. Sayapun bergegas meluncur ke Prelo melalui Google dan setelah melihat-lihat akhirnya memutuskan untuk mendownload aplikasinya. Prelo memilih background warna hijau yang cantik  semacam menunjukkan komitmen Prelo pada isu-isu lingkungan. Huruf P kecil dimana lingkaran kepalanya mencantum dua anak panah searah menunjukkan kesinambungan (sustainable) baik dalam produk yang ditawarkan dimana baju bekas bisa menjadi baju baru bagi orang lain dan di lain pihak menjadi sumber penghasilan bagi pemilik lamanya. Tentunya juga kesinambungan dalam bisnis dari Prelo sendiri. Laman demi laman yang saya buka sangat menarik. Saya sangat suka melihat tampilan layoutnya yang stylish dan menjadikan laman Prelo semacam majalah mode.Variannya cukup banyak dari harga yang sangat murah sampai harga yang tinggi ada. Sehingga secara pribadi, saya akhirnya tertarik juga untuk mencari koleksi pribadi selain tentunya koleksi untuk diperdagangkan kembali.

Ditambah lagi saya juga merasa aman dan nyaman dengan adanya metode pembayaran melalui rekening Prelo dimana dana yang telah  pembeli kreditkan ke rekening Prelo baru dibayarkan ke Penjual jika Pembeli telah menerima barang yang sesuai dengan iklan si Penjual, ada masa tunggu selama 3 x 24 jam.

Jadilah saya membuat dua jenis lovelist.

Lovelist untuk Diperdagangkan Kembali.

Saya tentunya harus memilih dalam range harga yang murah agar masih mendapat margin yang sewajarnya saat menjual kembali. Dan inilah pilihan saya:

Jika saya jadi konsultan berdandan hemat tapi gaya untuk seorang wanita muda maka perpaduan pakaian dan sepatu ini pasti akan saya usulkan. Dengan total budget tidak sampai Rp. 150 ribu sudah bisa tampil keren.

Pilihan saya yang lain untuk acara santai ataupun pesta anak muda ternyata merogoh kocek Rp. 80 ribu saja. Tampil gaya dengan Rok Zara bekas dan tas sling gold ini

Ada lagi lovelist saya yang ternyata mendapat penawaran harga turun dari penjualnya, heem menarik nih aplikasi chat di Prelo yang membuat kita bisa tawar menawar:

prelotassophie

Saya mendapat penawaran harga Tas Sophie Martin second ini Rp. 75 ribu, jadi 25% saja.

Lovelist untuk Koleksi Pribadi.

Ada penawaran kerjasama usaha dari beberapa teman yang sedang saya pertimbangkan. Salah satunya adalah menjadi Financial Planner. Memang saya memiliki 10 tahun pengalaman di dunia Perbankan dan Lembaga Keuangan lainnya, sehingga tidak heran jika mendapat tawaran demikian. Bekerja di bidang keuangan membutuhkan penampilan yang spesial. Pengalaman saya selama ini membuktikan bahwa penampilan tidak harus office look, nasabah tidak keberatan bertemu dengan financial planner dengan penampilan stylish seperti ini:

Tampil stylish dengan tas unyu dari Guess dan sepatu Converse second ini, mana ada yang tahu kalau harganya sudah bergoyang?

Tapi saya juga menyimpan beberapa lovelist yang menarik ini:

Saya yakin high heels dan perawatan rambut termasuk  must have items bagi perempuan, jadi jika ada yang second dengan harga miring – ngapain beli yang mahal.

Menambah Line Bisnis

Salah satu  episode dari  Project Runaway: Fashion Start Up sangat menarik perhatian, bukan saya saja yang terkesan tapi para investor yang terdiri dari nama-nama besar dalam industri setuju untuk menanam modalnya dalam start up tersebut. Sebuah start up yang menampung sisa-sisa bahan dari fabrikan baju dan mendaur ulangnya jadi karpet dan alas dalam mobil. Dengan 8 juta ton sampah sisa kain dan baju per tahunnya di Amerika, para fabrikan ini malah bersedia membayar ongkos angkut yang dikenakan start up tersebut.

Saya yakin sisa-sisa kain maupun produk yang tidak terjual juga ada di industri garmen yang bertebaran di Bandung. Bagaimana jika Prelo menjalin kerjasama dengan mereka untuk menampung sisa kain maupun produk tersebut. Sisa produk bisa dijual melalui Prelo dengan harga yang super duper miring, seperti yang pernah saya temui di beberapa toko online perorangan maupun toko-toko grosir. Bedanya dengan mereka, Prelo bisa menawarkan semacam program CSR pada para fabrikan. Dimana hasil penjualannya dipakai untuk mendayagunakan program Prelo Student Partners, yang merupakan program dari Prelo untuk memfasilitasi dan mengedukasi anak-anak muda kreatif. Sementara untuk sisa kain bisa disalurkan pada komunitas-komunitas yang aktif dalam kegiatan membuat produk-produk re-cycle. Komunitas yang umumnya juga membina wanita-wanita agar berdaya secara ekonomi.

Sepertinya bakalan banyak lho yang mendapatkan manfaat dari line bisnis yang satu ini termasuk saya yang akan mendapatkan pasokan supply baju berharga miring.

 

 

 

.

 

Leave a comment